MAKASSAR, KOMPAS.com
- Ekonomi neoliberalisme dikhawatirkan akan sama dengan menyulut kerusuhan
sosial. Ini karena isu-isu yang menyertai neoliberalisme itu.
Isu tersebut adalah demokrasi liberalisme, risiko negara (country risk), hak asasi manusia tanpa hak ekosob (memperoleh penghidupan yang layak, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, perumahan, layanan publik, dan ekonomi konstitusi), lingkungan untuk menahan laju daya saing pesaing, gender, good corporate governance, indeks korupsi, indek persaingan, multikultur, kearifan lokal, dan pemerintah gagal serta buruk dalam penyediaan layanan publik.
Hal itu dikemukakan pengamat ekonomi, Dr Ichsanuddin Noorsy, dalam seminar nasional "Kupas tuntas sistem ekonomi neoliberalisme vs sistem ekonomi kerakyatan dan kebangsaan" yang dibuka Pembantu Rektor IV Unhas, Dwia Aries Tina NK atas nama Rektor Unhas dan dilaksanakan Forum Akademisi Perguruan Tinggi di Kampus Unhas Makassar, Kamis (28/5).
"Ekonomi neoliberalisme mengandalkan mekanisme pasar. Globalisasi tidak lebih dari pemusatan kebijakan dan penyebaran barang dan jasa," katanya.
Dalam sajian yang berlangsung sekitar satu jam lebih itu, Ichsanuddin Noorsy yang tampil bersama Prof Dr Halide dan Ir Muslimin mengatakan, ekonomi neoliberalisme menggambarkan pemerintah dan birokrasi tidak lebih dari pesuruh pemodal yang menempatkan sistem ekonomi dalam hubungan patron-client.
"Ekonomi liberalisme berbasis individual, mekanisme pasar dan pasar bebas," ujar Ketua Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM tersebut. Motivasi utama ekonomi liberalisme, katanya, adalah akumulasi modal.
Ia memberi contoh, di Indonesia dari sisi penyerapan tenaga kerja, Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) menyedot tenaga kerja sekitar 96,1%, sementara usaha besar hanya 3,9%. Namun, dari aspek penyerapan kredit, UMKM hanya memperoleh kucuran tidak lebih 20%, sementari porsi terbesar tersedot oleh usaha besar.
Prof Halide mengatakan, Indonesia sebenarnya hanya mengenal dua sistem ekonomi, yakni liberalisme/kapitalisme, dan sistem ekonomi komunisme dan sosialisme. "Dalam Tap MPRS yang berkaitan dengan demokrasi ekonomi ditekankan mengamankan dan melindungi demokrasi dengan berpegang teguh pada bukan liberalisme, bukan etatisme, dan bukan monopoli," kata Halide.
Isu tersebut adalah demokrasi liberalisme, risiko negara (country risk), hak asasi manusia tanpa hak ekosob (memperoleh penghidupan yang layak, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, perumahan, layanan publik, dan ekonomi konstitusi), lingkungan untuk menahan laju daya saing pesaing, gender, good corporate governance, indeks korupsi, indek persaingan, multikultur, kearifan lokal, dan pemerintah gagal serta buruk dalam penyediaan layanan publik.
Hal itu dikemukakan pengamat ekonomi, Dr Ichsanuddin Noorsy, dalam seminar nasional "Kupas tuntas sistem ekonomi neoliberalisme vs sistem ekonomi kerakyatan dan kebangsaan" yang dibuka Pembantu Rektor IV Unhas, Dwia Aries Tina NK atas nama Rektor Unhas dan dilaksanakan Forum Akademisi Perguruan Tinggi di Kampus Unhas Makassar, Kamis (28/5).
"Ekonomi neoliberalisme mengandalkan mekanisme pasar. Globalisasi tidak lebih dari pemusatan kebijakan dan penyebaran barang dan jasa," katanya.
Dalam sajian yang berlangsung sekitar satu jam lebih itu, Ichsanuddin Noorsy yang tampil bersama Prof Dr Halide dan Ir Muslimin mengatakan, ekonomi neoliberalisme menggambarkan pemerintah dan birokrasi tidak lebih dari pesuruh pemodal yang menempatkan sistem ekonomi dalam hubungan patron-client.
"Ekonomi liberalisme berbasis individual, mekanisme pasar dan pasar bebas," ujar Ketua Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM tersebut. Motivasi utama ekonomi liberalisme, katanya, adalah akumulasi modal.
Ia memberi contoh, di Indonesia dari sisi penyerapan tenaga kerja, Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) menyedot tenaga kerja sekitar 96,1%, sementara usaha besar hanya 3,9%. Namun, dari aspek penyerapan kredit, UMKM hanya memperoleh kucuran tidak lebih 20%, sementari porsi terbesar tersedot oleh usaha besar.
Prof Halide mengatakan, Indonesia sebenarnya hanya mengenal dua sistem ekonomi, yakni liberalisme/kapitalisme, dan sistem ekonomi komunisme dan sosialisme. "Dalam Tap MPRS yang berkaitan dengan demokrasi ekonomi ditekankan mengamankan dan melindungi demokrasi dengan berpegang teguh pada bukan liberalisme, bukan etatisme, dan bukan monopoli," kata Halide.
Kamis, 25 Juni 2009 |
14:55 WIB
Laporan wartawan KOMPAS
Nina Susilo
SURABAYA, KOMPAS.com —
Neoliberalisme sudah diterapkan di Indonesia sejak Orde Baru dan diikuti
komersialisasi di segala bidang kehidupan pada masa reformasi. Penerapan
mekanisme pasar di semua bidang ini hanya memberikan kebebasan kepada
masyarakat yang mampu membayar. Karenanya, neoliberalisme harus dilawan.
Hal ini terungkap dalam diskusi terbuka bertajuk "Indonesia dalam Kepungan Neoliberalisme" di FISIP Universitas Airlangga, Surabaya, Rabu (24/6). Hadir sebagai pembicara diskusi ini, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Herry Priyono dan Sudaryanto dari Pergerakan Kebangsaan.
Herry menjelaskan, penerapan mekanisme pasar di semua bidang harus dilawan, tetapi mekanisme pasar dalam bidang ekonomi dengan dimensi sosial bisa diterima. Orientasinya adalah pada kesejahteraan masyarakat. Karenanya, perlu ada revitalisasi gagasan sosial dan pembuatan serta pelaksanaan kebijakan publik atas dasar visi "kontrak sosial" harus dikawal.
Neoliberalisme atau penerapan pasar bebas di segala bidang, menurut Herry, akan mengorbankan masyarakat dengan daya beli lemah termasuk anak dan perempuan. Kebebasan hanya bisa dinikmati bila bisa membelinya. Hal ini menimbulkan pergeseran, hubungan warga negara dan negara tidak lagi terkait hak, tetapi warga negara menjadi konsumen.
Secara antropologis, lanjut Herry, neoliberalisme mereduksi manusia menjadi hanya sebagai makhluk ekonomi. Padahal, sesungguhnya manusia adalah makhluk sosial, makhluk estetis, makhluk politis, makhluk kultural, dan makhluk religius yang seperti taman keragaman.
Akibat neoliberalisme, pendidikan bukan lagi menjadi hak asasi, tetapi masalah apakah seseorang bisa membelinya atau tidak. Hal ini tampak pada Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang disahkan tahun 2008.
Hal ini terungkap dalam diskusi terbuka bertajuk "Indonesia dalam Kepungan Neoliberalisme" di FISIP Universitas Airlangga, Surabaya, Rabu (24/6). Hadir sebagai pembicara diskusi ini, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Herry Priyono dan Sudaryanto dari Pergerakan Kebangsaan.
Herry menjelaskan, penerapan mekanisme pasar di semua bidang harus dilawan, tetapi mekanisme pasar dalam bidang ekonomi dengan dimensi sosial bisa diterima. Orientasinya adalah pada kesejahteraan masyarakat. Karenanya, perlu ada revitalisasi gagasan sosial dan pembuatan serta pelaksanaan kebijakan publik atas dasar visi "kontrak sosial" harus dikawal.
Neoliberalisme atau penerapan pasar bebas di segala bidang, menurut Herry, akan mengorbankan masyarakat dengan daya beli lemah termasuk anak dan perempuan. Kebebasan hanya bisa dinikmati bila bisa membelinya. Hal ini menimbulkan pergeseran, hubungan warga negara dan negara tidak lagi terkait hak, tetapi warga negara menjadi konsumen.
Secara antropologis, lanjut Herry, neoliberalisme mereduksi manusia menjadi hanya sebagai makhluk ekonomi. Padahal, sesungguhnya manusia adalah makhluk sosial, makhluk estetis, makhluk politis, makhluk kultural, dan makhluk religius yang seperti taman keragaman.
Akibat neoliberalisme, pendidikan bukan lagi menjadi hak asasi, tetapi masalah apakah seseorang bisa membelinya atau tidak. Hal ini tampak pada Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang disahkan tahun 2008.
Sementara itu, menurut
Sudaryanto yang mantan anggota DPR RI, liberalisme sudah terjadi mulai Orde
Baru dengan ekonomisasi segala bidang kehidupan. Pada era reformasi,
komersialisasi segala bidang kehidupan dilanjutkan. Sebab, banyak tokoh-tokoh
Orde Baru yang dengan mudah melompat menjadi tokoh di era reformasi.
Untuk melawan neoliberalisme yang terjadi dan diputarbalikkan oleh para akademisi yang menjadi tim kampanye para calon presiden, menurut Herry, diperlukan penjernihan konsep neoliberalisme oleh intelektual sejati. Selanjutnya, diperlukan transformasi kultural secara kolosal dalam waktu lama sehingga terbentuk kebiasaan baru dengan dimensi sosial.
Untuk melawan neoliberalisme yang terjadi dan diputarbalikkan oleh para akademisi yang menjadi tim kampanye para calon presiden, menurut Herry, diperlukan penjernihan konsep neoliberalisme oleh intelektual sejati. Selanjutnya, diperlukan transformasi kultural secara kolosal dalam waktu lama sehingga terbentuk kebiasaan baru dengan dimensi sosial.
Analisis
Menurut
pendapat saya masalah yang diangkat pada bacaan diatas sesuai dengan teori
liberalisme karena dalam bacaan diatas menjelaskan bahwa perekonomian dibiarkan
berjalan secara bebas atau membiarkan pasar berjalan dengan sendirinya selain
itu setiap persoalan ekonomi yang ada dibiarkan terselesaikan dengan sendirinya
atau membiarkan mekanisme pasar menyelesaikan persoalan ekonomi yang ada.
Paham neoliberalisme yang diungkapkan
diatas sebenarnya merupakan redefinisi dan kelanjutan dari paham liberalism
klasik di dalam paham neoliberalisme memuat beberapa pernyatan-pernyataan yang
diungkapkan dalam paham liberalisme klasik seperti membiarkan pasar berjalan
dengan sendirinya, setiap persoalan ekonomi yang ada diselesaikan oleh
mekanisme pasar tanpa ada kebijakan dari pemerintah, campur tangan pemerintah
hanya sebagai regulator saja.
Menurut
saya konsep neoliberalisme kurang tepat diterapkan dalam perekonomian Indonesia
karena para pelaku kegiatan ekonomi di Indonesia masih belum bisa mandiri dan
terpaku pada prosedur yang dibuat pemerintah sehingga apabila konsep
neoliberalisme diterapkan di Indonesia akan menimbulkan shock bagi para pelaku
ekonomi karena adanya pergeseran paradigma roda perekonomian. Konsep yang cocok
untuk diterapkan di Indonesia adalah konsep perekonomian yang dapat menjangkau
berbagai kalangan pelaku ekonomi dan dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat secara bersama-sama bukan hanya tertuju pada kalangan tertentu akan
tetapi merata ke berbagai kalangan. Pemerintah harus bertindak aktif sebagai
pemicu /trigger suatu kegiatan perekonomian yang dapa t meningkatkan
kesejahteraan rakyat seperti menjalankan program KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang
dapat meningkatkan produktivitas masyarakat. Meningkatnya produktivitas
masyarakat akan meningkatkan produk domestic bruto, kenaikan PDB tentunya akan
meningkatkan pendapatan personal. Tingginya pendapatan personal akan
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Referensi :
http://wiwitna.blogspot.com/2013/03/kumpulan-study-kasus-hubungan.html